Tradisi Grebeg Suro Di kraton Yogyakarta



 
grebeg suro


Garebeg atau lebih sering disebut grebeg adalah acara budaya yang rutin diadakan oleh Keraton Kasultanan Yogyakarta setiap Bulan Rabiul Awal penanggalan Hijriyah. Sesuai namanya maulid yang berarti hari lahir, acara ini diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam rangkaian acara ini diarak tujuh gunungan besar yang terdiri dari buah-buahan serta hasil panen lainya. Hal ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kelimpahan hasil bumi yang telah diberikan, serta bentuk sedekah raja kepada rakyatnya. Tujuh gunungan tersebut terdiri dari tiga gunungan kakung (laki-laki), satu gunungan putri (perempuan), satu gunungan gepak (pekat), satu gunungan pawuhan (pembuangan sampah), dan satu gunungan dharat (tanah).

sekaten


Perayaan Grebeg diawali dengan upacara pemberangkatan dari pergelaran Keraton Yogyakarta. Acara biasanya dimulai sekitar pukul 10.00 WIB. Setelah acara pembukaan dan doa selesai, maka iring-iringan pun mulai berjalan keluar Keraton. Mula-mula diawali oleh barisan prajurit lombok abang, kemudian abdi dalem, dan disusul gunungan- gunungan besar yang dibawa oleh beberapa orang. Ketujuh gunungan tersebut dikawal oleh 12 bregodo (regu prajurit Keraton). Gunungan-gunungan tersebut akan dibagi menuju tiga lokasi yaitu Masjid Gede Kauman, Puro Pakualaman, serta Kantor Kepatihan. Dalam perjalanan keluar dari Keraton, panitia harus bersusah payah menerobos lautan manusia untuk membuka jalan dikarenakan acara grebeg ini selalu menarik ribuan pengunjung untuk datang menyaksikan secara langsung, terutama di kawasan Keraton dan alun-alun utara. Walaupun panas sangat terik, masyarakat rela berdesak-desakan untuk bisa menyaksikanya.
Setelah gunungan tiba, baik di Masjid Gede Kauman, Puro Pakualaman, maupun Kepatihan, maka akan dilakukan ritual doa. Hal ini untuk menunjukkan rasa syukur dan kerendahan manusia dihadapan Yang Maha Agung. Segera setelah doa selesai maka gunungan tersebut akan langsung diserbu warga untuk mengambil hasil bumi yang terdapat pada gunungan. Dalam hitungan menit pun gunungan tersebut akan habis dan tinggal menyisakan rangka bambu. Sebagian warga masih percaya bahwa jika mendapat sesuatu dari gunungan tersebut, maka akan membawa keberkahan bagi kehidupan dan rejeki. Saking percayanya, bahkan sebagian dari mereka ada yang mencari sisa-sisa gunungan yang berserakan ditanah. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kesenian Tradisional Yogyakarta

Sejarah Kesenian Dongkrek di madiun