Sejarah Kesenian Dongkrek di madiun
Dongkrek |
Dongkrek
adalah kesenian daerah asli dari Desa Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur,
Indonesia. Kesenian ini berupa tarian dan iringan musik yang mengkisahkan upaya
Raden Ngabei Lo Prawirodipuro dalam mengatasi pageblug mayangkoro, dimana saat
itu masyarakat Mejayan terkena wabah penyakit dikisahkan pagi harinya sakit
sore harinya meninggal, begitu pun saat sore sakit maka paginya meninggal.
Kronologis upaya Raden Ngabei Lo Prawirodipuro dalam mengusir pageblug
mayangkoro inilah yang menjadi inti cerita dari kesenian dongkrek ini.
Asal
Asal
muasal seni dongkrek lahir sekitar tahun 1867 di Kecamatan Caruban yang saat
ini namanya berganti menjadi Kecamatan Mejayan, kabupaten Madiun. Kesenian itu
lahir di masa kepemimpinan Raden Ngabehi Lo Prawirodipuro yang menjadi demang
(jabatan setingkat kepala desa) yang membawahi lima desa.
Masa Kejayaan
Kesenian
dongkrek hanya mengalami masa kejayaan antara 1867 - 1902. Setelah itu,
perkembangannya mengalami pasang surut seiring pergantian kondisi politik di
Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, kesenian dongkrek sempat dilarang oleh
pemerintahan Belanda untuk dipertontonkan dan dijadikan pertunjukan kesenian
rakyat. Saat masa kejayaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, kesenian
ini dikesankan sebagai kesenian genjer-genjer yang dikembangkan PKI untuk
memperdaya masyarakat umum. Sehingga kesenian dongkrek mengalami masa pasang
surut akibat imbas politik.
Kegunaan
DONGKREK |
Dalam
cerita tersebut wangsit menggambarkan para punggawa kerajaan roh halus atau
pasukan gondoruwo menyerang penduduk mejayan dapat diusir dengan menggiring
mereka keluar dari desa mejayan, maka dibuatlah semacam kesenian yang
melukiskanfragmentasi pengusiran roh halus yang membawa pagelebuk tersebut.
Komposisi
Komposisi
para pemain fragmen satu babak pengusiran roh halus tersebut terdiri dari
barisan buto kolo, orang tua sakti dan kedua perempuan tua separuh baya. Para
perempuan yang disimbulkan posisi lemah sedang dikepung oleh para pasukan buto
kala dan ingin mematikan perempuan tersebut, maka muncullah sesosok lelaki tua
dengan tongkatnya mengusir para barisan roh halus tersebut untuk menjauh dari
para perempuan tersebut.
Selanjutnya,
melalui peperangan yang cukup sengit, pertarungan antar rombongan buto kolo
dengan orang tua sakti, dan dimenangkan oleh orang tua tersebut. Pada episode
selanjutnya, orang tua tersebut dapat menyelamatkan kedua perempuan dari
ancaman para buto kolo tersebut dan rombongan buto kolo itu mengikuti dan patuh
terhadap kehendak orang tua sakti tersebut, kemudian orang tua yang didampingi
dua perempuan itu menggiring pasukan buto kolo keluar dari desa mejayan
sehingga sirnalah pagebluk yang menyerang rakyat desa mejayan selama ini dan
tradisi ini menjadi ciri kebudayaan masyarakat caruban, dengan sebutan
Dongkrek.
Bunyi
Dari
sisi bunyinya masyarakat pada waktu itu mendengar musik dari kesenian dongkrek
ini yang berupa bunyian ‘dung’ berasal dari beduk atau kendang dan ‘krek’ ini
dan alat musik yang disebut korek. Alat korek ini berupa kayu berbentuk bujur
sangkar, di satu ujungnya ada tangkai kayu bergerigi yang saat digesek berbunyi
krek. Dari bunyi dung pada kendang dan krek pada korek itulah muncul nama
kesenian Dongkrek.Dalam perkembangannya digunakan pula komponen alat musik
lainnya berupa gong, kenung, kentongan, kendang dan gong berry sebagai
perpaduan antar budaya yang dialiri kebudayaan Islam, kebudayaan cina dan
kebudayaan masyarakat jawa pada umumnya.
Dalam
tiap pementasan dongkrek, ada tiga topeng yang digunakan para penari. Ada
topeng raksasa atau ‘buto’ dalam bahasa Jawa dengan muka yang seram. Ada topeng
perempuan yang sedang mengunyah kapur sirih serta topeng orang tua lambang
kebajikan. Dan kalau ditarik kesimpulan, maksud jahat akhirnya akan lebur juga
dengan kebakan dan kebenaran sesuai dengan sesanti atau moto surodiro
joyoningrat, ngasto tekad darmastuti. Dalam islam istilahnya, Ja’al haq wa
zahaqal bathil. Innal Bathila kaana zahuqa.
Komentar
Posting Komentar